Saturday, March 4, 2017

PENGERTIAN TAFSIR 'ILMI


Pendahuluan
a. Latar Belakang
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Jika kita membaca Al-Qur'an secara seksama, akan kita temukan sangat banyak ayat-ayat yang mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kebebasan akal untuk berpikir. satu keajaiban itu adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran ilmiah yang dapat diungkap manusia dengan sains dan teknologi abad ke-20 dinyatakan Al-Quran 1400 tahun yang lalu.
Allah berfirman dalam Qs. Fushilat : 53
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
            Berkenaan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Kami (Allah) akan perlihatkan pada mereka tanda-tanda dan dalil-dalil kami bahwa Al-Quran itu adalah hak dan ia diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-Nya dengan tanda-tanda yang terang (alami)”[1]
Al-Qur'an selalu mengajak manusia untuk melihat, membaca, memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.  

b. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas kami akan merumuskan hal-hal yang akan dibahas pada makalah ini agar tidak terlalu meluas. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa itu Tafsir ‘Ilmi dan Bagaimana Awal Kemunculannya ?
2. Siapa Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Tafsir ‘Ilmi ?
3. Bagaimana Sikap Para Ulama dalam menanggapi Tafsir ‘Ilmi ?        
4. Contoh Ayat Al-Qur’an dengan Tafsir ‘Ilmi !





PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Awal Kemunculan Tafsir Ilmi        
            Tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan dalam corak tafsir ini adalah ayat-ayat kauniyah (kealaman).
[2]        
            Tafsir ‘ilmi atau scientific exegies dalah corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan penedekatan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Di maksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an juga di maksudkan untuk justifikasi dan mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an serta bertujuan untuk mendeduksikan teori-teori ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
           
Menurut Yusuf al-Qardhawi tafsir bi al-‘ilmi adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran dari makna al-Quran.
loading...
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita pahami bahwa tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai ilmiah dan kauniyah (kealamaan).         
            Tafsir ‘ilmi di bangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah di temukan maupun yang belum di temukan. Tafsir corak ini berangkat dari paradigma bahwa al-Qur’an disamping tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan, al-Qur’an tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama atau segala yang terkait dengan ibadah ritual, tetapi juga memuat ilmu-ilmu duniawi, termasuk hal-hal mengenai teori-teori ilmu pengetahuan.[3]
Latar Belakang Kemunculan Tafsir ‘Ilmi    
           
Corak prnafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (w.853 M)[4], pada masa pemerintahan Al-Ma’mun ini muncul gerakan penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian dan bab-bab dan sistematikanya . Tafsir terpisah dari hadits, menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir[5]. Al-Makmun sendiri merupakan putra khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal sangat cinta dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
Pada saat itu, Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah berkerja secara kelompok dan dikoordinir oleh seorang supervisor. Kemudian, karya terjemahan ini diperiksa kembali keaslian dan kesesuaiannya dengan buku-buku aslinya. Kegiatan penerjemahan ini menyebabkan lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang terkenal dalam berbagai disiplin keilmuwan, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi dan lainnya.
Implikasi dari proses transmisi penerjemahan buku-buku ilmiah terutama Yunani ke dunia Islam tidak hanya dalam hal pengetahuan umum, tetapi juga dalam hal pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, metode tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi memang berkembang pada masa ini, terutama tafsir bi al-ra’yi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
            Al-Qur’an menjadi sumber bermacam-macam ilmu pengetahuan di zaman Abbasiyah. Ahli nahwu (tatabahasa) bertumpu pada al-qur’an dalam menentukan kaidah/peraturan bahasa Arab. Bagaomanapun juga, keterangan panjang lebar membantu dalam menginterpretasikanal-Qur’an dan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tertentu. Maka dari itu ahli tata bahasa mengarang buku-buku dengan judul The Meaning of The Quran(maksud-maksud al-Qur’an), para ahli hukum islam menjadikan al-Qur’an sebagai sumber primer ketika menulis karya mereka, yang mereka beri judul al-Ahkam Al-Qur’an, begitu juga dengan para teolog , ahli astronomi, matematika, kimia dan kedokteran muslim menginterpretasikan al-Qur’an sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing keilmuan mereka.[6]
Sedangkan menurut Dr.Abdul Mustaqim munculnya tafsir ‘Ilmi ini karena dua faktor yaitu :[7]
       Pertama, faktor internal yang terdapat dalam teks al-Qur’an, dimana sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat kosmologi (Lihat misalnya Q.S. al-Gasyiyah : 17-20). Bahkan ada pula ayat-ayat al-Qur’an yang disinyalir memberikan isyarat untuk membangun teori-teori ilmiah dan sains modern, karena seperti dikatakan Muhammad Syahrur, wahyu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan akal dan realitas (revelation does not contradict with the reality).
            Dengan asumsi tersebut, ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dideduksi untuk menggali teori-teori ilmu pengetahuan, oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan pendekatan sains modern, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat. Sebab para pendukung tafsir ilmi sependapat, bahwa penafsiran al-Qur’an sesungguhnya tidak mengenal titik henti, melainkan terus berkembang seiring dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, ayat yang berbunyi khalaqa al-insana min ‘alaq (QS. al-‘Alaq : 2). Dulu, kata al-‘alaq dalam ayat ini ditafsirkan oleh para mufasir klasik dengan pengertian segumpal darah yang membeku. Namun sekarang, dalam dunia kedokteran akan lebih tepat jika ditafsirkan dengan zigot, sesuatu yang hidup, yang sangat kecil menggantung pada dinding rahim perempuan.
       Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu pengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha untuk melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains dan mencari ‘justifikasi telogis’ terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga ingin membuktikan kebenaran al-Qur’an secara ilmiah-empiris, tidak hanya secara teologis-normatif.
B.  Tokoh-Tokoh Tafsir ‘Ilmi dan Kitab-Kitab Tafsirnya        
            Diantara Tokoh yang paling gigih mendukung tafsir ‘ilmi tersebut adalah Al-Ghazali (w.1059-1111 M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur’an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa “ Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian baik yang telah telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim” .[8]
         Juga dapat di ketahui tokoh-tokoh penggiat tafsir ilmi ini dari pengarang kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir ‘ilmi dintaranya :
  • Fakhrudin Al-Razi       : dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghayib
  • Thanthawi Al-Jauhari : dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim
  • Hanafi Ahmad                         : dengan karyanya Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an
  • Abdullah Syahatah      : dengan karyanya Tafsir al-Ayat al-Kauniyah
  • Muhammad Syawqi     : dengan karyanya Al-Fajri Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim
  • Ahmad Bayquni          : dengan karyanya Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
        Dan tokoh-tokoh pengarang kitab–kitab tafsir yang berusaha menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an misalnya :[9]
  • Al-Allamah Wahid al-Din Khan                      : dengan karya kitab tafsirnya al-Islam Yatahadda
  • Muhammad Ahmad Al-Ghamrawy      : dengan karya kitab tafsirnya Al-Islam fi ‘Ashr al-‘ilm
  • Jamal al-Din Al-Fandy                                     : dengan karya kitab tafsirnya al-Ghida’ wa al-Dawa’
  • Ustadz ‘Abd al-Razzaq Nawfal                       : dengan kitab tafsirnya Al-Qur’an wa al-‘ilm Hadits
  • Tengku Muhammad Hasbi As-Siddiqy            : dengan kitab tafsirnya Tafsir An-Nur
C.  Sikap Ulama dalam Menanggapi Tafsir ‘Ilmi         
          Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu penegetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur’an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu kedokteran, fisika, zoologi, botani dan lain-lain.[10]
          Para ulama telah membahas tentang tafsir ‘ilmi secara mendalam. Secara umum, ulama dalam menghukumi tafsir ‘ilmi terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang melegalkan dan memperbolehkan penggunaan tafsir ‘Ilmi dalam menafsirkan al-Quran, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang melarang dan menolak penggunaan tafsir ‘Ilmi.
Para Pendukung Tafsir ‘ilmi
Sebagian ulama mendukung tafsir ‘ilmi dan bersikap terbuka, seperti hal nya al-Ghazali, salah seorang ulama yang mendukung tafsir ini , menurutnya segala macam ilmu baik yang terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an . hal ini di’sebabkan segala macam ilmu termasuk dalam af’al Allah dan sifat-sifat-Nya. Artinya bahwa corak penafsiran ‘ilmiah, menurutnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
            Salah satu mufasir kontemporer yang paling populer dalam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap metode penafsiran ini, serta telah mengaplikasikannya dalam bentuk kitab tafsir yang sangat tebal adalah syekh Thanthawi Jauhari, dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Jawahir (25 jilid).[11] Ulama-ulama lain yang mendukung dan membenarkan penggunaan tafsir ‘ilmi di antaranya ialah, al-Ghazali, as-Suyuthi, Fakhruddin ar-Razi dan yang lain.
Para mufassir yang mendukung dan memperbolehkan tafsir ‘ilmi secara umum berlandaskan pada firman Allah dalam QS. Qaf : 6
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ
Artinya :         
Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? (QS. Qaf : 6).


            Keberpihakan al-Ghazali dan as-Suyuthi mengenai corak tafsir ‘ilmi ini berkembang luas hingga muncul beberapa kitab tafsir corak tafsir ‘ilmi seperti al-Razy yang menuangkan gagasannya dalam kitab tafsir nya yang di sebut Tafsir Mafatih al-Gayb. Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim dan kitab tafsir ilmi lainnya seperti yang telah di sebutkan di atas.
            Para pendukung tafsir ‘ilmi ini mempunyai argumen bahwa al-Qur’an itu menghimpun ilmu –ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat di jangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu al-Qur’an mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum al-Qur’an turun dan yang akan terjadi. Di dalamnnya pula terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang bisa di saksikan, fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil di ungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai sesuatu yang baru .Itu semua sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru menurut al-Qur’an sebab kesemuanya telah di ungkap dan diisyaratkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam al-Qur’an .
Para Ulama yang Menolak Tafsir ‘Ilmi
            Beberapa ulama lain menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah ini, mereka mempunyai argumen bahwa tidak perlu terlalu jauh dalam memahami al-Qur’an dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an, oleh karena al-Qur’an itu tidak tunduk kepada teori-teori yang bersifat relatif, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Sebaliknya kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukan oleh ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melngkah terlalu jauh dan lepas ke makna yang tidak ditunjukan oleh teks ayat dan hal-hal lain yang tidak perlu diungkap dalam kaitan dengan dengan pensyariatan agam islam dan fungsi al-Qur’an sebgai kitab ptunjuk. Hal ini dikarenakan kepentingan al-Qur’an bukanlah berbicara kepda manusia tentang problematika kosmologis dan kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi al-Qur’an semata-mata merupakan kitab petunjuk dan penuntun yang di turunkan Allah untuk kebahgiaan manusia.
            Para penolak tafsir ‘ilmi ini juga berargumen, bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah. Jika semua teori ilmu pengetahuan telah ada dalam al-Qur’an, maka berarti ia akan menjadi sumber ilmu pengetahuan, pertanian, tehnik, dan sebagainya. Padahal teori-teori tersebut bersifat relatif, ia bisa salah dan bisa benar. Ketika suatu teori yang dulu dianggap benar dan telah dicarikan justifikasi dari ayat al-Qur’an, ternyata di kemudian hari teori tersebut dinyatakan keliru, karena ada penelitian terbaru yang lebih valid, maka hal itu akan mengganggu keyakinan umat Islam. Seolah-olah ayat al-Qur’an itu juga keliru dan bertentangan dengan teori yang baru tersebut. Kesan yang muncul adalah bahwa al-Qur’an telah ketinggalan zaman. Paling tidak, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, mengapa mereka menolak penafsiran sains terhadap al-Qur’an. Pertama, terkadang ayat-ayat itu tidak dipahami pengertiannya sebagaimana saat pewahyuan. Kedua, ada kecenderungan memaksakan (takalluf) untuk mencocok-cocokkan ayat dengan perkembangan sains modern. Ketiga, sisi kesinambungan iptek menunjukkan bahwa tidak semua ajaran dan teori iptek diambil dari teks al-Qur’an.[12]
Di antara ulama yang menentang adanya tafsir al-‘Ilmi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi. Menurutnya penafsiran yang setelah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya dari pada penafsiran ilmiah. Asy-Syathibi juga mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan bukan untuk mnerangkan ilmu pengetahuan dan ia menyarankan agar orang yang ingin memahami al-Quran harus membatasi diri hanya menggunakan ilmu–ilmu bantu yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada masa Nuzul al-Quran. Barang siapa yang memahami al-Quran berdasarkan ilmu bantu selainnya, maka ia akan terjerumus dalam kesesatan dan mengetasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya.
            Di antara ulama lainnya yang juga menolak kehadiran tafsir ‘ilmi adalah Abu al-Hayan Al-Andalusi, Muhammad rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, Musthafa AL-Maraghi, M. Izzah Ad-Darwizah, Syauqi Dhaif dan Amin Al-Khulli.
            Dari perbedaan pandangan mengenai tafsir ‘ilmi tersebut, dapat di cari jalan tengah, yakni bahwa memang al-Qur’an bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat di sangkal bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembngkan ilmu penegtahuan.[13] Banyak hikmah di dalamnnya yang jika di kaji oleh seorang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya dan mampu menjelaskan kemu’jizatanya. Dan siapa pula yang mengngkari bahwa ilmu biologi, geografi, dan ilmu lainnya kita perlukan? Ini bukan berarti al-Qur’an merupakan kitab tentang ilmu kedokteran, fisika atau kimia. Ia adalah semata-mata kitab petunjuk, penuntun, syari’at, hukum, dan akhlak. Al-Qur’an tidak banyak mngemukakan rincian-rincian, keterangan-keterangan secara detail dan teori-teori yang di anggap penting oleh manusia.         
Di samping itu, seorang mufassir yang hendak melakukan penafsiran ‘ilmi perlu memperhatikan hal-hal sebagian berikut, yakni:
  • Bersikap modern artinya tidak terlalu berelebihan dalam meniadakan atau menetapkan ilmu pengatahuan dalam al-Qur’an.
  • Seorang mufassir hendaknya berpegang pada kebenaran ilmiah yang sudah mapan, bukan pada teori yang masih bersifat asumtif dan prediktif.
  • Menjauhi pemaksaan diri (takalluf) dalam memahami teks al-Qur’an, sehingga penafsir ‘ilmi jangan sampai terlalu jauh dari makna-makna yang masih mungkin yang terkandung dalam suatu ayat.
  • Produk tafsir ‘ilmi hendaknya tidak di klaim sebagai satu-satunya makna yang dikehendaki oleh Allah swt, sehingga mengabaikan kemungkinan makna yang lain yang terkandung dalam suatu ayat. Sebab ayat al-Qur’an itu yahtamalu wujuhal ma’na(memungkinkan banyak penafsiran)[14]
D. Contoh Tafsir ‘Ilmi
Seperti yang telah diketahui, al-Quran memang bukan buku sains. Namun, banyak fakta ilmiah yang dinyatakan secara sangat mendalam dan padat dalam ayat-ayatnya, baru ditemukan dengan teknologi abad ke-20. Fakta-fakta ini tidak mungkin bisa diketahui pada saat al-Quran diturunkan, dan ini justru lebih membuktikan bahwa al-Quran adalah firman Allah. Sekarang mari kita cermati contoh-contoh ayat yang berkaitan dengan tafsir ‘ilmi yang diungkapkan al-Quran.
Penciptaan Alam Semesta
Asal mula alam semesta diuraikan al-Quran dalam beberapa ayat berikut:
1.       QS. al-An’am : 101
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”

2.       QS. al-Ankabut : 44
خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.”
Informasi yang diberikan al-Quran ini sepenuhnya sesuai dengan temuan sains masa kini. Harun Yahya sebagai ilmuwan kontemporer berpendapat bahwa kesimpulan yang dicapai astrofisika saat ini adalah bahwa seluruh alam semesta, bersamaan dengan dimensi dan waktu, muncul sebagai akibat dari ledakan besar yang terjadi dalam ketiadaan waktu. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Big Bang”, membuktikan bahwa alam semesta telah diciptakan dari ketiadaan sebagai hasil ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern sependapat bahwa “Big Bang” adalah satu-satunya penjelasan masuk akal yang dapat dibuktikan untuk permulaan dan penciptaan alam semesta.
Sebelum Big Bang, materi itu tidak ada dari kondisi “ketiadaan” ketika materi energi bahkan waktu, tidak ada dan kondisi itu hanya dapat digambarkan secara metafisis materi, energi dan waktu diciptakan. Fakta yang ditemukan baru-baru ini oleh fisika modern, telah diterangkan oleh al-Quran kepada kita 1400 tahun lalu.[15]

Meluasnya Alam Semesta

Di dalam al-Quran, ketika ilmu astronomi masih primitif, perluasan alam telah digambarkan pada QS. Az-Zariyat : 47:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ  
Artinya:
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Para ahli tafsir menafsirkan berbeda-beda pada lafad “wa inna lamusi’un”. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai “laqadirun” artinya yang kuasa, ada juga yang menafsirkannya dengan “ladzu sa’ah” (yang mempunyai keluasan), maksudnya Allah tidak akan kesulitan untuk menciptakan langit atau yang lain yang diinginkannya, dan ada pula yang mengartikan sebagai “lamusi’un ar-rizqi ‘ala kholqina” artinya Allah adalah yang meluaskan rizki atas makhluknya.[16]
Harun Yahya dalam bukunya menjelaskan kata langit. Menurut beliau, kata langit, seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas, digunakan di pelbagai tempat dalam al-Quran dengan arti ruang angkasa dan alam semesta. Di sini, kata itu digunakan lagi dengan arti tersebut. Dengan kata lain, dalam al-Quran diungkapkan bahwa alam semesta mengalami perluasan, dan ini tepat sama dengan kesimpulan yang dicapai sains saat ini.[17]
Pada awal abad ke-20, seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedman dan ahli kosmologi Belgia George Lemaitre telah membuat pengiraan secara teoritis bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan berkembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti juga alam semesta tersebut terus-menerus berkembang. Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang.[18]

Bentuk Bulat Planet Bumi
Tentang bentuk bumi, terjadi perdebatan antara para ilmuwan sampai pada awal abad ke-16. dan pada waktu itu mayoritas pelajar menyatakan bahwa bentuk bumi itu datar, serta sedikit yang mengatakan bumi itu bulat.
Sedangkan Allah telah menyinggung tentang bentuk bulat bumi dalam QS. Az-Zumar: 5 yang berbunyi:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ ۖ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ أَلَا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
Artinya :         
            “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. Az-Zumar: 5)
Dalam al-Quran, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai ”menutupkan” adalah lafad “Takwir”. Menurut Dr. Kamal, makna “Takwir” adalah berputar dan menyelubungi, dan yang dimaksud ayat di atas adalah bahwa malam dan siang memutari bumi dan menyelimutinya. Dan sesungguhnya konsep yang seperti ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau bumi bulat.[19]
Ini berarti bahwa al-Quran yang telah diturunkan pada abad ke-7 telah mengisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat. Namun, perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar dan ada gunung-gunung tinggi pada sisinya yang berguna sebagi tiang langit, dan semua perhitungan dan penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini.[20] Sebaliknya, ayat-ayat al-Quran berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir.
Dari beberapa penemuan di atas maka jelaslah bahwa teori alam mengembang telah diterangkan dalam al-Quran pada saat tidak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan al-Quran adalah firman Allah Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.
Kesimpulan
         Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan ataupun sains. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai ilmiah dan kauniyah (kealamaan). Tafsir ‘ilmi di bangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah di temukan maupun yang belum di temukan. Tafsir corak ini berangkat dari paradigma bahwa al-Qur’an disamping tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Dan dalam perjalanan nya bahkan sampai sekarang tafsir ilmi ini menuai pro dan kontra di kalangan para ulama dan masing-masing mempunyai argumen tersendiri mengenai tafsir corak ini sebagai mana yang telah di jelaskan di atas. Ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari uraian di atas, yaitu:
  • Al-Quran dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan bukan terletak pada kandungan berbagai teori-teori ilmiah, melainkan terletak pada isyarat atau dorongan yang memerintahkan umat manusia untuk mengembangkan akal pikirannya demi mencapai suatu kemajuan.
  • Tafsir corak ilmiah ini dapat diterima selama pemahamannya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku.
  • Produk tafsir ‘ilmi hendaknya tidak di klaim sebagai satu-satunya makna yang dikehendaki oleh Allah swt, sehingga mengabaikan kemungkinan makna yang lain yang terkandung dalam suatu ayat. Sebab ayat al-Qur’an itu yahtamalu wujuhal ma’na(memungkinkan banyak penafsiran)


DAFTAR PUSTAKA
Katsir, Ibnu. 2006.Tafsir Al-Quran Al-Azim. Beirut: Darul kutub
Al’aridl, Dr. ‘Ali Hasan. 1992.Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Pers
Arfan Baraja, H. Abbas. 2009. Ayat-Ayat Kuniyah. Malang: UIN-Malang Press
Asy-Syirbashi. 1991. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ibrahim Hassan, Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang
Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS Group
Mustaqim, Abdul.2014. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik,  Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press.
Mustaqim, Abdul.“Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan   Tafsir.
Supiana, dan M.Karman. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.            


[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azim (Beirut: Darul kutub, 2006) ,hal. 94
[2] Supiana dan M.Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 314
[3] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga  Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm. 136-137
[4] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.(Bandung: PT Mizan  Pustaka,1992), hlm. 154
[5] ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 23
[6] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 136-140
[7] Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 5-6
[8] M.Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.(Bandung: PT Mizan Pustaka,1992), Hlm 154
[9] Hassan Ibrahim Hassan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 68
[10] Dr. ‘Ali Hasan Al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 62
[11] Ahmad Qusyairi Ismail dan Mohammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Mustofa ,(Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1430H), hal. 82.
[12] Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan Tafsir, hlm 11
[13] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 138
[14] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 138-140
[15] Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Badung: Dzikra, 2007), hal. 80-81
[16] Al-qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil-Quran, (Beirut: Darul-Kutub Al-Misriyyah ), juz. 17, hal. 52
[17] Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 82
[18] Ibid, hal. 82-83
[19] Ibid, hal. 20-21
[20] Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 80