Sunday, September 20, 2015

PENGERTIAN TAFSIR DAN TA’WIL, DAN PERBEDAANNYA



PENGERTIAN TAFSIR DAN TA’WIL, DAN PERBEDAANNYA

  1. PENDAHULUAN
Al Quran adalah kalam Allah SWT. Yanag diturunkan pada rasul-Nya,yakni Nabi Muhammad SAW .denagn lafadz bahasa arab, disampaikan dengan jalan mutawatir, dan ditulis dalam bentuk mushaf. Alquran menghimpunsemua petunjuk Allah, semua syari’atnya, dan hukum-hukumnya. Sungguh dia telah datang sebagai petunjuk dan mu’jizat yang diringkas.kesemuanya itu karena posisi Alquran sebagai kitab yang berfungsi member petunjuk kepada jalan yang lebih lurus serta memberikan gambar gembira kepada orang-orang mu’min yang beramal saleh dengan pahala yang yang besar
Namun, untuk dapat memahami secara baik dan benar makna dan maksud ayat-ayat Al Quran, sehingga kita dapat menangkap maksud yang dikandung didalamnya, maka diperlukan adanya penjelasan yang dapat menerangkan segi kandungan ayat-ayat tersebut. Dengan demiian keberadaan tafsir dan ta’wil sebagai cara untuk mempelajari kandungan Al Qurantidak dapat dipungkiri lagi, jika seseorang berkeinginan mengkaji ayat-ayatAl Quran. Oleh karena itu, di dalam makalah ini pemakalah akan membahas sekelumit tafsir dan ta’wil serta paerbedaan antara keduanya.
  1. RUMUSAN MASALAH   
1.      Bagaimana pengertian tafsir dan ta’wil menurut para ahli tafsir ?
2.      Bagaimana perbedaan antar atfsir dan ta’wil menurut ahli tafsir ?
  1. PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir menurut bahasa berasal dari kata al fasr yang b erarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. [1] az zahaby mengutip dalam buku lisanul arab bahwa lafadz al fasr berarti menjelaskan (al bayan ), membukakan seseuatu yang tertutup (kasyu al mugti), dan p;engertian at tafsir berarti: membuka sesuatu yang dikehendaki dari sesuatu lafadz yang musykil. Demikian juga, Bahwa setiap sesuatu dapat diketahui dengan penafsiran sesuatu, adapun makana sesuatu itu adalah tafsirannya. Sedang tafsir Al Quran adalah merupakan penjelasan penjelsan kalam Allahdenagn memaparkan pemahaman kalimat-kalimat serta semua ibarat yang terdapat di dalam Al Quran.[2] Hal itu senad dengan firman Allah Q.S. al furqan ayat 33:
            Artinya: tidaklah mereka datang kepadamu (membawa ) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsirnya. Maksudnya” paling baik penjelasan dan perinciannya”
Berkata ibn abbas tentang firman Allah: waahsanu tafsiran artinya lebih baik perinciannya.[3]
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kata al fasr adalah merupakan bentuk masdar dari fassara yufassiru tafsiran Yang secara etimologi berarti: menerangkan, menjelaskan, menyatakan  membukakan sesuatu yang tertutup, dan lain sebagainya. Sedangkan tafsir Al Quran berarti: penjelasan, pernyataan, penerangan, atau yang semakna dengannya akan maksud kandungan Al Quran.
            Adapun pengertian tafsir menurut terminology, sebagaimana para ulama telah berbeda pendapat dalam mengemukakan. Duiantara mereka ada yang mendefinisikan panjang, sederhan dan ada pula yang singkat.:
  1. Definisi tafsir yang panjang adalah:
Imam Jalaluddin As-suyuthi berpendapat:
Tafsir ialah ilmu yang nmenerangkan tentang nuzul ayat-ayat, kisah-kisahnya, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tarik makki dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya, halal dan haramnya, nashk dan mansukhnya, khas dan ‘amnya, perintah serta larangannya dan lain sebagainya.[4]
Abu hayyan mendefisikan demikian :
Tafsir adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas tentang cara-cara pengucapan lafadz-lafadz Al Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika ifrad maupun secara tarki,serta makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[5]
Dalam definisi tersebut , kesemua segi ilmu yang menyangkut dengan Al Quran dijelaskan secara terperinci, sehingga tidak ditemukan satu ilmu pun yang luput dari pembahasannya.
b.      Definisi sederhana mengatakan:
Asy syaikh  thahir Al Jazairi mengatakan:
Tafsir pada hakikatnya oalah mensyarahkan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya menyebut muradifnya, atau yang  mendekatinya, atau menunjukkan menunjukkan kepadanya dengan salah satu jalan petunjuk.
Imam al jurjany berkata:
Tafsir pada aslnya adalah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan lafadz yang menujuk kepadanya secara terang.
c.       Definisi ringkas mengatakan:
Imam al kilby mengatakan :
Tafsir adalah mensuyarahkan al quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya dan isyarahnya ataupun dengan tujuannnya.
Imam az zarkasyi mengatakan :
Tafsir adalah suatu ilmu dengannya dapat diketahuibagaiman memahami kitab Allah SWT. Yang diturunkan kepada nabinya Muhammad SAW. Menerangkan makna-makna Al Quran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
            Jadi pada dasarnya, tafsir itu adalah suatu ilmu yang membahas apa saja yang dimaksudkan oleh Allah, yang ada pada firman-nya.

Pengambilan (sumber-sumber) tafsir
Tafsir diambil dari riwayah dan dirayah yakni ilmu lughah, nahwu ashrif, ilmu balaghah, ilmu ushul fiqih dan dari ilmu asbab an-nuzul, serta nasikh waal-mansukh.
Ghayah( tujuan ) tafsir
Ghayah mempelajari tafsir ialah memahamkan makna-makna Al Quran, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlaknya, dan petunjuk-patunjuk yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa faedah yang kita peroleh dari mempelajari tafsir ialah terpelihara dari salah memahami Al Quran.[6]
Sedangkan maksud yang diharapkan dari mempelajari tafsir ialah mengetahui petunjuk-petunjuk Al Quran, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat. [7]

2.      PENGERTIAN TA’WIL
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata al awwala yang berarti al ruju yang berarti kembali. Oleh karena itu, ia juga dapat berarti mengembalikan ayat kepada makna yang dikandungnya. Di dalam kamus disebutkan kata ta’wil berarti ungkapan atau penjelasan suatu pandangan.[8] Dikatakan pula bahwa ia diambil dari kata aul yang bermakna kembali dan berpaling. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ail yang berarti memalingkan, yaitu memalingkan dari makna yang zhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya.[9]
Menurut pendapat yang masyhur, kata ta’wil dari segi bahasa ialah sama dengan pengertian tafsir, yaitu menjelaskan dan menerangkan. Dengan demikian, ta’wil bisa mempunyai arti sebagai berikut:
a.       Kenbali atau mengembalikan, yakni mengembalikan makna pada yang sesungguhnya.
b.      Memalingkan, yakni memalingkan suatu lafadz tertentu yang mempunyai sifat khusus dari makna zhahir ke makna bathin, hal ini karena ada ketetapan dan keserasian dengan maksud yang dituju.
c.       Mensiasati, yakni dalam lafadz-lafadz tertentu atau kalimah-kalimah yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan makna yang setepat-tepatnya.
Dari beberapa mengenai pengertian ta’wil diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian ta’wil  adalah mengembalikan suatu lafadz kepada makna ghayah yang dimaksud oleh kandungannya.[10]
Sedangkan pengertian ta’wil menurut istilah terdapat beberapa pandangan, diantaranya:


a.       As Said al-Jurjany mengatakan:
Ta’wil ialah memalingkan lafadz dari makna yang zhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al Quran dan As Sunnah.
b.      Pendapat para ulama:
Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.[11]
c.       Menurut ulama salaf, ta’wil berarti menegaskan. Yang dimaksud menegaskan disini ada dua pengertian yaitu:
1)      Menafsirkan kalimat dan menerapkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriyah kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. Berdasarkan definisi diatas, maka kata tafsir dan ta’wil adalah dua kata yang senantiasa meliki persamaan makna.
 Inilah yang dimaksud oleh imam mujtahid, yang menerangkan dalam sebagain keterangannya yaitu:
Sesungguhnya para ulam itu mengetahui ta’wilnya, yaitu tafsiran dari firmannya.
Demikian juga imam  ath-thabari memeksudkan arti tersebut, sebagaimana beliau mengatakan dalam kitab tafsirnya:
              Pendapat tentang ta’wil mengenai firman Allah, ialah begini dan begitu. Dan beliau juga berkata”karena itu para ta’wil ayat-ayat Al Quran berbeda-beda pendapat, dan sebagainya. Maka yang dimaksudnyadengan ta’wil disini adalah tafsir.
2)      Ta’wil adalah suatu esensi yang dikehendaki oleh suatu kalimat. Apabila kalimat itu berupa tuntutan maka ta’wilnya adalah esensi dari perbuatannya yang dituntut. Dan jika berupa kalimat berita maka ta’wilnya adalah esensi dari sesuatu yang diberitakan.[12]
Diantara definisi yang pertama dan kedua, nampak jelas perbedaannya. Yang pertama:Ta’wil itu termasukdi dalamnya bab ilmu dan rangkaian kalimat atau rangkaian keterangan, seperti tafsir, komentar dan penjelasan dan biasanya ta’wil itu adanya di dalam hati dan lisan, ia memiliki wujud pemahaman , ucapan dan tulisan.
Adapun dalm definisi yang kedua, maka ta’wil adalah “Esensi perkara-perkara yang didapati diluar baik perkara-perkara itu terjadi pada waktu telah lampau ataupun waktu yang akan datang”. 
d.      Pandangan ulama Muta’akhirin dari golongan ulama fiqih, mutakalimin, muhaditsin, dan tasawuf.
Meneurut pandangan mereka, ta’wil adalah : mengalihkan lafadz dari makna rajah, kepada makna marjuh dengan dalil yang dihubungkan dengannya.
            Syarat yang harus dipenuhi seorang pena’wil yaitu :
1)      Hendaknya seorang pena’wil mampu menejelaskan kandungan lafadz terhadap makna yang dikandungnya, sebagaimana yang dikehendaki.
2)      Hendaknya ia menjelaskan dalil mewajibkan (membolehkan) memindahkan lafadz dari maknanya rajah kepada makna yang marjuh, bila hal ini tidak terpenuhi, maka ta’wil  itu rusak, atau kontroversi dengan ketentuan yang ada.
e.       Shahibu jam’ul jawami’ mengatakan:
Ta’wil adalah mengangkat yang zhahir terhadap makna yang dikandung oleh marjuh, maka untuk mengalihkannya diperlukan dalil yang shahih, dan kalau memakai dalil yang zhanni, maka akan terjebak pada kerusakan, dengan demikian hal itu tidak dapat dikatakan ta’wil.
f.       Ibnu Taimiyyah mengatakan :
Ta’wil adalah mengalihkan sesuatu yang ada didalamnya pada masalah sifat, maka diantara mereka ada yang mencela  dan menolak ta’wil, juga diantar mereka ada yang memuji dan mewajibkannya.
                        Dari beberapa pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’wil secara istilah ialah menafsirkan kalimat dan menjyelaskan maksudnya, baik yang sesuai zhahirnya ayat maupun tidak.[13]

g.      PERBEDAAN ANTAR TAFSIR DAN TA’WIL
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil, diantaranya:
a.       Ar-raghif al-ashfhani berpendapat:
Tafsir itu lebih umum dari pada ta’wil. Artinya tafsir itu lebih baik digunakan pada lafazh-lafazhnya sedangkan ta’wil digunakan untuk menerangkan makna-maknanya, dan susunan kalimat.
b.      Al Maturidi mengatakan :
Tafsir adalah menetapkan (memutuskan) bahwa yang dikehendaki oleh suatu lafazh adalah begini atau begitu, dan bersaksi dengan nama Allah, bahwa itulah yang dimaksud dengan lafazh tersebut. Maka jika terdapat dalil yang telah kokoh kebenarannya, maka itulah tafsir yang benar., dan jika demikian maka itulah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan. Sedangkan ta’wil adalah mencari yang lebih kuat dari salah satu makna yang mungkin diterima ayat, tanpa bersaksi dengan nama Allah.
c.       Imam abu Thalib ats Tsa’labiy berpendapat:
Tafsir adalah menjelaskan atau menerangkan mengenai pemakaian makna lafazhbaik makna secara harfiah atau kiasan, seperti misalnya: ash- shirath tafsirnya adalah ath-thariq (jalan),  dan ash shayyib, tafsirnya adalah al-mathar (hujan). Sedangkan ta’wil adalah tafsiran atas isi atua kandungan lafazh. Sebagaimana telah dijelaskan di depan, lafazh ta’wil diambil dari kata al aula yaitu kembali atau ar ruju kepada kesudahan suatu perkara. Maka ta’wil disini adalah pemberitahuan tentang hakikat dari apa yang duamaksudkan , dan tafsir ialah pemberitahuan tentang petunjuk mengenai apa yang dimaksudkan. Karena sesungguhnya lafazh itu dapat mengungkap apa yang dimaksud.
d.      Imam Al-Baghawy berpendapat :
Ta’wil adalah mengalihkan makna kandungan ayat yang sesuai ayat sebelum dan sesudahnya, serta tidak menyalahi Alkitab(Al quran) dan As Sunnah dari cara menurunkan hukum. Sedang tafsir adalah pembahasan dalam masalah asbab nuzul, perkembangan, dan kisah-kisahnya.
            Dengan demikian, maka hubungan diantar keduanya disini adalah keduanya berkedudukan sebagai penjelas.
Ulama lain berpendapat :
Tafsir adalah sesuatu yang berpaut dengan riwayat, sedangkan ta’wil ialah sesuatu yang berpaut dengan dirayah.[14]
            Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukil dari shahabat, sedang ta’wil adalah difahamkan dari ayat dengan mempergunakan tata bahasa arab.
                        Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian, tafsir secara garis besar menyingkap dan menjelaskan maksud firman Allah SWT, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Nya, hadist nabi-Nya serta keterangan dari sahabat yang menyaksikan proses turunnya wahyu dan mengetahui sebab turunnya. Sedangkan pengertian ta’wil secara garis besar adalah menjelaskan salah satu maksud firman Allah dari beberapa kemungkinan pengertian yang dikandung oleh suatu lafazh berdasarkan ijtihad, yang tentuny adalam ijtihad harus diukung oleh seperangkat ilmu pungetahuan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’.
            Dengan demikian, perbedaan antara tafsir dan ta’wil adalah bahwa tafsir itu menerangkan maksud yang ada pada lafazh, sedang ta’wil itu menerangkan maksud yang ada pada maknanya.

D.    PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat disimpulkan  tafsir secara garis besar menyingkap dan menjelaskan maksud firman Allah SWT, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Nya, hadist nabi-Nya serta keterangan dari sahabat yang menyaksikan proses turunnya wahyu dan mengetahui sebab turunnya. Sedangkan pengertian ta’wil secara garis besar adalah menjelaskan salah satu maksud firman Allah dari beberapa kemungkinan pengertian yang dikandung oleh suatu lafazh berdasarkan ijtihad, yang tentuny adalam ijtihad harus diukung oleh seperangkat ilmu pungetahuan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’.


DAFTAR PUSTAKA
Al qattan, Manna ‘ khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Bogor: Litera Antar Nusa, 2001
Mu’min, Drs. Ma’mun, Ilmu Tafsir
Ash Shiddiqiy, TM. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran dan Tafsir, Semarang: PustakaRiski Putra, 2009


[1] Manna ‘ khalil Al qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Bogor: Litera Antar Nusa, 2001, hal. 455
[2] Drs. Ma’mun mu’min, Ilmu Tafsir, hal 19
[3] Opcit, Manna’, hal. 456
[4] OPcit, Ma’mun, hal. 20
[5] Opcit, Manna’, hal. 456
[6] TM. Hasbi ash Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran dan Tafsir, Semarang: PustakaRiski Putra, 2009, hal. 154
[7] Ibid, hal . 155
[8] Opcit, Ma’mun,hal. 26
[9] Opcit, Hasbi, hal. 155
[10] Opcit, Ma’mun, hal. 28
[11] Opcit, Hasbi, hal. 155
[12] Opcit, Ma’mun, hal. 29
[13] Ibid, hal. 13
[14] Ibid, hal. 35

PENGERTIAN, TUJUAN, DAN HAKEKAT FIQIH


PENGERTIAN, TUJUAN DAN HAKIKAT FIQIH
A.    PENDAHULUAN
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana,  berbagai macam perajanjian, atau  pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syari’at Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nashyang ada di dalam Al qura’an dan As Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash dalam Al Quran dan As Sunnah, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dengan perantara dalil dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
 Dari kumpulan-kumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang ada nashnya, maupun yang diistinbathkan dari berbagai dalil syari’ lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya,  maka terbentuklah fiqih.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian dan hakikat fiqih ?
2.      Apakah objek dan tujuan yang dikaji dalam fiqih ?
3.      Apakah macam-macam fiqih ?

C.     PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN FIQIH
Menurut bahasa fiqih berasal dari kata faqiha- yafqahu- fiqhan (  فقه- يفقه- فقها )yang berarti mengerti, faham akan sesuatu.[1] Dari sinilah ditarik perkataan fiqih yang memberikan pengertian kepemahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasulnya Sedangkan menurut fuqaha (faqih), fiqih merupakan pengertian zhanni tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia . Pengertian mana yang dibenarkan dari dalil-dalil hukum syara’ tersebut terkenal dengan ilmu fiqih. Orang yang ahli fiqih disebut faqih, jamaknya fuqaha, sebagaimana diketahui bahwa dalil-dalil umum dari fiqih itu adalah tafshily yang seperti disebutkan diatas tadi statusnya zhanni dan hukum yang dilahirkan adalah zhanni dan hukum zhanni tentu ada tali pengikatnya. Tali pengikat itu adalah ijtihad, yang akhirnya orang berpendapat fiqih itu sama dengan ijtihad.[2] Jadi, ilmu fiqih ialah suatu ilmu  agama, pengertian ini dapat ditemukan dalam surah Thaha ayat 27-28 yang berbunyi:
يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ(28).  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ(27)
Dan lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. (Q.S. Thaha :27-28).
 Selain itu juga ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ جَيْرًايَفْقَهُهُ فِى الدِّيْنِ
Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam).
Sedangkan menurut istilah fiqih ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah yang diambil dari dalil-dalil tafshily .[3]
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
a.       Definisi ilmu fiqih secara umum ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
b.      Ilmu fiqih merupakan sekumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup , untuk keperluan seseorang, golongan, dan asyarakat umum manusia.[4]
Jadi secara umum Ilmu Fiqih itu dapat disimpulkan bahwa jangkauan fiqih itu sangat luas, yaitu membahas masalah-masalah hukum Islam dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
c.       Definisi fiqih yang dikemukakan oleh ustazd Abdul Hamid Hakim, antara lain:
اَلْفِقْهُ لُغَةً اَلْفَهْمُ, فَقِهْتُ كَلاَمَكَ أَيْ فَهِمْتُ
“fiqih menurut bahasa:Faham, maka tahu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku”
(وَاصْطِلاَحًا: اَلْعِلْمُ بِالأَحْكَامِ الْشَّرْعِيَّةِ الَّتِىْ طَرِيْقُها الْاءِجْتِهَاد
“fiqih menurut istilah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalannya Ijtihad”.
  كَالْعِلْم بأنّ النّيّة فى الوضوءواجبة ونحو ذلك من المسائل الاءجتهاديّة لقوله صلى الله عليه وسلم:  إنّماالأعمال باانّيات
Seperti mengetahui bahwa sesungguhnya niat pada berwudhu adalah wajib dan seperti demikian itu sebagai dari Ijtihad sebagaimana kata Nabi Muhammad SAW: ”sesungguhnya pekerjaan-pekerjaanitu dimulai dengan niat”.[5]
            Kalau kita mengetahui dan mempelajari definisi fiqih yang telah dikemukakan para ahli fiqih dalam berbagai masa perkembangannya jelaslah bahwa definisi fiqih telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya masing-masing , maka para ahli fiqih dalam memberi definisi fiqih juga berubah/ berbeda. Coba perhatikan definisi fiqih di bawah ini.
1.      Definisi fiqih pada abad I ( pada masa sahabat )
Definisi fiqih dimasa ini ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh para liyatafaqqahufiddin  dimana mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam masalah fiqih.
            Siapa yang dikehendaki Allah, mereka akan memperoleh pengetahuan fiqih yang mendalam , yaitu semasa belum lahirnya mazhab, tapi fiqih waktu itu dalam tangan sahabat dan tabi’in , karena orang pada waktuitu belum berpegang pada suatu mazhab dari seorang mujtahid.[6]
2.      Definisi fiqih pada abad  II ( masa telah lahirnya mazhab-mazhab )
Pada abad ini telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan mazhab- mazhab yang terbesar dikalangan umat islam.  Definisi   fiqih yang dikemukakan Abu Hanifah, ahli agama dan mujtahid besar dan tertua pada akhir masa sahabat tabi’in menyatakan :
عِلْمٌ يُبَيِّنُ الْحُقُوْقَ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِىْ تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ
Ilmu yang menerangkan hak dan kewajiban.
Yang dimaksud dengan definisi diatas ialah suatu pengetahuan yang menerangkan dari segala yang diwajibkan, disunatkan, dimakruhkan dan dibolehkan oleh ajaran islam.[7]
3.      Definisi fiqih menurut ahli ushul dari Ulama-Ulama Hanafiah.
Definisi fiqih menurut ulama Hanafiah ialah:
علم يبين الحقوق والواجبات التي تتعلق بأفعال المكلّفين
Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban berhubungan dengan amalan para mukallaf.
4.      Definisi  fiqih yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut Syafi’I ialah:
اَلْعِلْمُ الَّذِىْ يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّة الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُسْتَنْبَطُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّة
Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang diistinbat dari dalil-dalil tafshily.[8]
5.       Definisi fiqih menurut ibnu khaldun ialah:
الفقه معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والنداب والكراهة والإباحة وهي متلقات من الكتاب والسنة ومانصبه الشارع لمعرفتها من الأدلة فاذااستخرجت الأحكام من تلك الأدلة قيل لهافقه
Fiqih adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf baik yang wajib, sunnah, makruh dan yang mubah yang diistinbathkan dari al-kitab dan as-sunah dan dalil-dalil yang ditegaskan syara’. Apabila dikeluarkan hukum-hukumdengan jalan ijtihad dari dalil-dalilnya, maka yang dikeluarkan itu dinamai fiqih.[9]
6.       Definisi fiqih menurut ulama lainnya ( Ijtihad Islam):
العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبط من ادلتها التفصيلية
Suatu ilmu yang dengan ilmu itu kita mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diperoleh dari dalili-dalilnya yang secara rinci.[10]
2.      HAKIKAT FIQIH
Fiqih yaitu suatu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan seseorang yang diambil dari dalildalil yang jelas, yaitu berdasarkan Al Quran dan As Sunnah.


3.      OBJEK KAJIAN FIQIH
Objek pembahasan dalam fiqih adalah perbuatan mukallaf ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas membahas tentang jual beli  mukallaf, sewa menyewa, penggadaian, perwakilan, shalat, puasa, haji, pembunuhan, tuduhan terhadap zina, pencurian, ikrar, dan wakaf yang dilakukan oleh mukallaf,  supaya ia mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan ini.[11]

4.       TUJUAN FIQIH
Tujuan dari fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syari’at terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Karena itu, ilmu fiqih adalah tempat kembalinya seorang hakim dalam keputusannya, tempat kembalinya seorang mufti dalam fatwanya, dan tempat kembali seorang mukallaf untuk dapat mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari dirinya.[12]
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat islam untuk mempelajari fiqih ialah :
1). Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
2). Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan  manusia .
3). Kaum muslimin harus bertafaqquh baik dalam bidang aqaid dan akhlaq maupun dalam bidang dan muamalat.
                             Oleh karena demikian sebagian kaum muslimin harus pergi menuntut ilmu pengetahuan agama Islam guna disampaikan pula kepada saudara-saudaranya.
                             Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntut manusia kepada kebaikan dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari keutamaan fiqih, karena fiqih, menunjukkan kita kepada sunnah Rasul serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya dalam kehidupan. Seseorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani musuh.[13]

5.      MACAM-MACAM FIQIH
a.       Fiqih Ijtihadi
Fiqih Ijtihadi ialah fiqih yang dihasilkan oleh ijtihad para mujtahid atau oleh istinbath mereka.
b.      Fiqih Muqarin
Fiqih Muqarin ialah:
جَمْعُ اَرَاءَ الاْئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مَعَ ادلتِهَافِى الْمَسْأَلَةِ الْوَاحِدَةِ الْمُخْتَلِفِ فِيْهَا وَمُقَابَلَةُ هَذِهِ الاَدِلَّةِ بَعضُهَا بِبَعْضٍ لِيَظْهَرَ بَعْدَمُنَاقَشَتِهَااَىْ الْاَقْوَالِ اقْوَى دَلِيْلاً        
Kumpulan pendapat para imam mujtahid yang berbeda-beda dalam satu  masalah yang disertai dengan dalil pendapat itu, kemudian membandingkan dengan satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk mencari pendapat yang terkuat dalilnya setelah melihat kelemahan pendapat lain.
c.       Fiqih Nabawy
Fiqih Nabawi ialah fiqih yang dengan tegas ditunjukkan Al quran atau hadist.[14]

D.    PENUTUP
1.      KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa fiqih adalah  suatu ilmu yang mempelajari atau menerangkan macam-macam syara’ dan hukum Islam   yang mengenai perbuatan dan ucapan mukallaf yang diambil dari dalil-dalil yang  jelas dan terperinci yaitu berpegangan dengan Al Quran dan As Sunnah. Dengan tujuan supaya setiap mukallaf dapat mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapannya.




DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994
karim , Drs. H. Syafii, Fiqih- Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001

Sujak,Imam Abu, fathul Qarib Al mujib, Semarang: Toha putra, t.t

Ash Shiddieqy, Prof. Dr. TM. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, bulan Bintang
Yunus, Prof. DR. H. Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuriyah, t.t





                         



[1] Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuriyah, t.t, hal. 321
[2] Drs. H. Syafii karim, Fiqih- Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, hal. 11
[3] Imam Abu Sujak, fathul Qarib Al mujib, Semarang: Toha putra, t.t, hal. 3
[4] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, bulan Bintang, 1980, hal. 22
[5] Opcit, Syafi’i, hal. 19
[6]  Ibid, hal. 31
[7] Ibid, hal. 32
[8] Ibid, Hal. 36
[9] Ibid, Hal. 37
[10] Ibid, Hal 39
[11] Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, hal. 2
[12] Opcit, Abdul wahab, Hal. 6
[13] Opcit, Syafi’i, hal. 55
[14] Drs. Totok. Jumantoro, M.A, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,  AMZAH, 2005, hal. 68