Saturday, March 4, 2017

HADIS TENTANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA




BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
Keberadaan orang tua bagi seorang anak ibarat sebuah pohon dan buahnya. Tidak akan ada buah tanpa pohon, dan kuranglah bermanfaat sebuah pohon tanpa buah yang baik. Oleh karena itu, hubungan antar orang tua dan anak mestilah menjadi hubungan yang harmonis dan saling melingkapi. Bagi orang tua, menyayangi dan mengasihi anak tidak terbatas ruang dan waktu. Mereka tidak pernah lelah dan lalai dalam memberikan kasih sayang dan perhatiannya kepada anak-anaknya. Mengerjakan apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Dilain sisi, tidak sedikit anak yang tidak memperhatikan dan tidak peduli kepada orang tuanya. Ketika usia masih kecil hingga remaja, mereka kadang enggan menuruti nasihat dan perintah orang tuanya. Demikian pula, ketika mereka sudah dewasa dan sukses dalam karir, tak jarang orang tuanya terabaikan tanpa kasih sayang seperti kasih sayang yang didapatnya dari orang tua ketika kecil hingga besar. Bahkan, tidak sedikit orang anak memperlakukan orang tuanya jauh dari sikap hormat, kasih dan sayang.
Perilaku anak yang tidak baik terhadap orang tuanya merupakan perbuatan yang sangat tercela. Mereka mungkin menjadi korban tayangan yang tidak baik yang mereka tonton atau mungkin pemahaman agama yang dangkal sehingga mereka luput dari perilaku terpuji. Apapun alasannya, mulai saat ini dan mulai dari diri kita sendiri , mari kita hormati, sayangi, dan patuhi perintah kedua orang tua selam perintah itu tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Melalui makalah ini penulis mencoba memaparkan sedikit tentang hadis tentang berbakti kepada orang tua dan cara berbakti kepada orang tua.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana penjelasan hadis tentang berbakti kepada orang tua ?  
2.    Bagaimana bentuk-bentuk dari birrul walidain ?


PEMBAHASAN
A.    Hadis tentang berbakti kepada orang tua
1.      Bunyi hadis
عَنْ اَبِي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قال جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ (اخرجه البخاري)
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “ Suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya: “ Wahai Rasulullah, siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik?” Rasulullah menjawab : “ Ibumu!”, lalu siapa? Rasulullah menjawab: “ Ibumu!”, lalu siapa? Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Sekali lagi orang itu bertanya: kemudian siapa? Rasulullah menjawab: “ Bapakmu!”(H.R.Bukhari).[1]
2.      Biografi perawi
Para ulama berselisih dalam menetapkan namnya. Ahli silisilah menyebutkan dengan nama ‘Uwaimir ibnu ‘amir. Ibnu ishaq menerangkan nama jahiliyyahnya adalah ‘Abdusy syam bin syakhar. Nabi Muhammad lebih senang memanggilnya dengan nama ‘Abdur Rahman. Beliau dilahirkan pada tahun 19 sebelum hijriyah, sedang meninggalnya di Al-‘Aqiq medinah pada tahun 59 hijriyyah pada usia 78 tahun.
Beliau dikuniyahi dengan Abu Hurairah karena pada suatu ketika bercakap-cakap dengan Rasulullah SAW. Kucing yang sedang dibawanya mendadak meloncat, sehingga dengan spontan nabi mengkunyahkannya dengan Abu Hurairah (pak kucing), karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya. Beliau masuk agama Islam disaat perang Khaibar berkecamuk dan pada kesempatan ini beliau bersama-sama Rasulullah maju dimedan pertempuaran Khaibar. Untuk selanjutnya beliau tidak pernah absen mengikuti Rasulullah SAW. Diaman saja beliau berada, dengan harapan akan memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya dari rasulullah. Harapan  ini kiranya tidaklah sia-sia baginya, tenyata beliau banyak menguasai hadis dan sanggup mengeluarkan hadis-hadis yang tidak sanggup dikeluarkan oleh orang-orang Muhajirin maupun orang Anshar. Tidak sedikit para sahabat dan tabi’in yang berguru hadis kepadanya.
loading...
Jumlah hads yang beliau riwayatkan sebanyak 5374 hadis. Dari jumlah sekian itu yang disepakati oleh Bukhory Muslim sebanyak 325, yang diriwayatkan oleh Bukhory sendiri berjumlah 93 hadis, sedangkan yang diriwayatkan oleh Muslim sejumlah 189 hadis.[2]

loading...
3.      Penjelasan hadis
Menurut bahasa perkataan birr berarti kebagusan atau keutamaan.  Sedangkan enurut istilah syara’ birr berarti amal sholeh yang bersih dari noda-noda. Arti yang terkandung dalam dalam kalimat birr mencakup seluruh macam-macam bentuk kebajikan, baik kebijakan yang diusahakan oleh anggota lahiriyyah maupun kebajikan yang diusahakan oleh perbuatan bathiniyyah.
Budi pekerti yang luhur adalah termasuk birr dan sebaliknya kehendak hati yang tercela itu termasuk suatu kedurhakaan sabagaimana yang disabdakan rasulullah “ yang dimaksud birr itu ialah budi pekerti yang baik dan yang  disebut durhaka itu ialah kehendak didalam hatimu yang tidak kau senangi sekiranya dilihat oleh manusia.
Adapun berbuat birr kepada orang tua tidak lain ialah berbuat baik kepadanya. Misalnya berlaku sopan santun, baik didalam pembicaraan maupun didalam bertingkah laku, menuruti segala perintahnyayang benar, mencukupi segala kebutuhan yang dihajatakan menurut batas kemampuan yanga ada dan mendoakan kepadanya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa berbuat birr kepada kedua orang tua itu ialah melimpahkan beberapa kebajikan yang wajib maupuan yang sunnat yang diridhoi olehnya dengan melaksanakan segala perbuatan yang tiada berdosa.[3]

4.      Hukum birrul walidaini
Mengenai hukum melakukan birrul walidain, para ulam telah sepakat bahwa berbuat taat dan berbakti kepada kedua orang tua itu hukumnya adalah wajib. Mengenai tentang siapakah yang harus didahulukan diantara kedua orang tua, sebagian ulama tidak mengadakan perbedaan satu sama lain untuk didahulukan dan diakhirkannya.
Menurut  lahiriyyah hadis Abu Hurairah diatas, ibulah yang lebih berhak dan lebih utama ditaati, disayangi, dikasihi dan dilayani dari pada sang bapak. Pendapat ini disandarkan pada hadis nabi yang mengulangi sebutan ibu sampai tiga kali. Ibu diutamkan dari pada ayah mengingat jerih payah ibu sejak dari mengandung, melahirkan, menetekinya, memelihara dan mendidik anak sampai anak menjadi dewasa.
Sedangkan menurut ibnu ‘uyainah bahwa seoarang yang telah dapat menunaikan kewajiban lima kali sembahyang sehari semalam denagn sempurna, ia benar telah bersyukur kepada Allah dan jika mendoakan kepada kedua orang tuanya pada tiap-tiap kali habis sembahyang wajib berarti ia telah bersyukur kepada kedua orang tuanya.
            Selain itu, berlainan agama bukanlah merupakan penghalang atas kewajiban seseoarang untuk berbuat baik terhadap orang tua. Hal ini pernah terjadi pada diriAsma’ binti Abu Bakar pada zaman rasulullah . Katanya (asma’) :
“Ibuku, seorang musyrik, disaat Rasulullah mengadakan sulh hudaibiyyah dengan orang musyrikin, mengunjungi aku. Kemudian akiu memminta fatwa kepada Rasulullah. Aturku:ibuku ini adalah orang yang kurang senang terhadap agma islam, apakah akau dapat mnemuinya? “ benar” sahut rasulullah,” temuilah ibumu”.( muttafaqun ‘alaihi).

B.  Bentuk-Bentuk Birrul Walidain
Agama islam memberi batas-batas sampai dimana perintah orang tua itu harus dituruti dan sampai dimana batas  wewenang seorang anak tidak dipandang durhaka terhadap orang tua sekiranya ia membakang perintah orang tuanya. Pada prinsipnya segala perintah kedua orang tua hendaklah ditaati oleh anak, kecuali kalau peerintah tersebut dengan cara langsung maupun tidak langsung menyebabkan syirik kepada Allah. Demikian juga setiap larangan kedua orang tua harus ditinggalkan kecuali kalau larangan tersebut bertentangan dengan ketentuan syariat yang justru harus dilaksankan, misalnya larangan orang tua terhadap anaknya yang berhasrat belajar ilmua agama, menjalankan ibadat shalat dan puasa atau tidak memberikan dorongan dan sugesti terhadap hasrat anak dalam melaksankan hal-hal tersebut.
Pembakangan anak terdapat perintah atau larangan orang tua terhadap hal-hal tersebut ditas dan yang semisalnya tidak menjadi sebab bahwa anak itu dipandang  durhaka terhadap orang tua. Namun demikian, jika terjadi kejadian semacam itu, sopan santun dan etik pergaulan antara anak dan orang tua harus dipelihara baik-baik agar tidak memimbulkan ketegangan antar anak dengan orang tua. Tuhan selalu memberikan peringatan kepada ummatnya agar anak berbuat baik kepada orang tuanya.[4]

Adapun bentuk-bentuk Birrul Walidain di antaranya:
a. Taat dan patuh terhadap perintah kedua orang tua, taat dan patuh orang tua dalam nasihat, dan perintahnya selama tidak menyuruh berbuat maksiat atau berbuat musyrik, bila kita disuruhnya berbuat maksiat atau kemusyrikan, tolak dengan cara yang halus dan kita tetap menjalin hubungan dengan baik.
b. Senantiasa berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap hormat, sopan santun, baik dalam tingkah laku maupun bertutur kata, memuliakan keduanya, terlebih di usia senja.[5]
c. Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh, maupun masalah lainnya. Selama keinginan dan saran-saran itu sesuai dengan ajaran Islam.
d. Membantu Ibu Bapak secara fisik dan materil. Misalnya, sebelum berkeluarga dan mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua terutama ibu. Dan mengerjakan pekerjaan rumah.
e. Mendoakan Ibu Bapak semoga diberi oleh Allah kemampuan, rahmat dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirta.
f. Menjaga kehormatan dan nama baik mereka.
g. Menjaga, merawat ketika mereka sakit, tua dan pikun.
h. Berbakti ketika mereka sudah meninggal. Adapun berbakti kepada orang tua  setelah orang tua meninggal , maka cara-cara berbakti kepada orang tua yang telah meninggal antara lain :
1.      Melangsungkan hubungan kasih sayang terhadap orang-orang yang pernah diikat hubungan kasih sayang oleh orang tuanya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
“ Termasuk dari bakti yang utama , ialah silaturahminya seseorang kepada ahli kerabatnya  yang dicintai ayahnya, setelah orang tuanya meninggal” (HR.Muslim)
2.      Mendoakan, memintakan ampun, melaksanakan janjinya, melangsungkan anjangsih dan memuliakan teman-temannya.[6]
3.      Mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya.
4.      Melunasi semua hutang-hutangnya.
5.      Melaksanakan wasiatnnya.[7]
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berbuat birr kepada orang tua tidak lain ialah berbuat baik kepadanya. Misalnya berlaku sopan santun, baik didalam pembicaraan maupun didalam bertingkah laku, menuruti segala perintahnyayang benar, mencukupi segala kebutuhan yang dihajatakan menurut batas kemampuan yanga ada dan mendoakan kepadanya.
Adapun bentuk-bentuk Birrul Walidain di antaranya: Taat dan patuh terhadap perintah kedua orang tua, Senantiasa berbuat baik terhadap kedua orang tua, Mengikuti keinginan dan saran orang tua, Berbakti ketika mereka sudah meninggal. Adapun berbakti kepada orang tua  setelah orang tua meninggal , maka cara-cara berbakti kepada orang tua yang telah meninggal antara lain : Melangsungkan hubungan kasih sayang terhadap orang-orang yang pernah diikat hubungan kasih sayang oleh orang tuanya, mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya, dan lain sebagainya.


















DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Imam, Terjemah Riyadhus Shalihin juz I, Jakarta: Pustaka Amani,cet IV, 1999
Suparta, Munzier,  Ilmu Hadis ,  Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 2002
Fatchurrahman, Al-Haditsun Nabawy,  Kudus: Menara, tt
Sya’roni, Mahmud, Cermin Kehidupan Rosul, Semarang: Aneka Ilmu, cet I, 2006
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhklak, (Yogyakarta, LPPI,  cet IX, 2007


[1] Imam nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin juz I, (Jakarta: Pustaka Amani,cet IV,1999), hlm.327.

[2] Munzier suparta,  Ilmu Hadis , ( jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 210-211
[3] Drs. Fatchurrahman, Al-Haditsun Nabawy, ( Kudus: Menara, tt), hlm. 159-160
[4] Ibid, Hlm. 161-162
[5] Mahmud Sya’roni, Cermin Kehidupan Rosul, (Semarang: Aneka Ilm, cet I, 2006), hlm.378.
[6] Opcit, Fatchur, Hlm. 163
[7] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhklak, (Yogyakarta, LPPI,  cet IX, 2007),hlm.152